Bijaksana di Tengah Kebodohan: Antara Kesadaran, Kasih Sayang, dan Tanggung Jawab Moral

Bagikan Keteman :


Pendahuluan: Realita Sosial yang Tak Bisa Dipungkiri

Di manapun kita tinggal—di desa, kota, bahkan negara maju sekalipun—mayoritas manusia bukanlah golongan cerdas. Ini adalah fakta alamiah, karena untuk menjadi orang yang benar-benar cerdas, dibutuhkan proses panjang: belajar terus-menerus, berpikir kritis, terbuka terhadap kebenaran, dan punya kepekaan hati.

Sebaliknya, kebodohan itu murah meriah. Ia tidak butuh modal, tidak perlu usaha, bahkan bisa dipelihara hanya dengan malas berpikir. Karena itulah, kebodohan sangat mudah tersebar dan mendominasi.


Fakta yang Perlu Disadari

📌 Cerdas itu langka, bodoh itu lazim.
📌 Orang bodoh mudah tersulut, cepat menilai, dan sering salah paham.
📌 Namun justru dari sinilah kita ditantang untuk menjadi pribadi yang lebih bijak.

Kesadaran akan realita ini bukan untuk merendahkan, tetapi sebagai pegangan batin agar kita tidak cepat marah, tidak merasa lebih tinggi, dan tidak terjebak dalam sikap sombong intelektual.


Ciri Orang Bijak di Tengah Orang Bodoh

  1. 🤲 Memaafkan, bukan menghina
    • Ketika orang awam menyalahpahami, menuduh, atau berprasangka buruk, orang bijak tidak membalas dengan amarah, tapi dengan kesabaran.
  2. 🌾 Maklum, bukan mengejek
    • Orang bijak sadar bahwa banyak orang tidak tahu apa yang mereka tidak tahu. Maka tugas kita adalah membimbing, bukan membentak.
  3. 🚫 Tidak mengeksploitasi kebodohan orang lain
    • Inilah puncak akhlak. Menjadi cerdas tapi tetap rendah hati, tidak memanfaatkan ketidaktahuan orang lain untuk keuntungan pribadi. Karena memanfaatkan orang bodoh adalah bentuk kezaliman.

Refleksi: Mengapa Kita Harus Memaafkan dan Memaklumi?

  1. Karena kita pun dulu pernah bodoh.
    Tak seorang pun lahir langsung paham. Kita semua pernah dalam posisi tidak tahu.
  2. Karena kebodohan itu bukan hanya soal otak, tapi juga soal nasib dan keadaan.
    Banyak orang tidak punya akses pendidikan, tidak punya mentor, atau tidak pernah disentuh oleh lingkungan yang memotivasi belajar.
  3. Karena memaafkan adalah tanda kedewasaan spiritual dan emosional.
    Semakin tinggi ilmu seseorang, semestinya semakin luas pula hatinya dalam memaafkan.

Penutup: Menjadi Pelita di Tengah Kegelapan

Cerdas bukan berarti keras. Dan bijak bukan berarti lemah.

Menjadi pribadi cerdas yang bijaksana adalah menjadi pelita di tengah kegelapan kebodohan. Ia tidak memaki gelapnya malam, tapi ia menyalakan cahaya—sekalipun kecil—demi menerangi sekitar.

Mari kita tanamkan dalam diri:

“Kebodohan orang lain bukan alasan untuk marah, tapi panggilan untuk lebih sabar dan lembut. Karena boleh jadi kita ditakdirkan untuk menjadi penuntun, bukan penonton.”

Dan jangan lupa: semua orang bisa berubah. Mungkin hari ini mereka belum tahu. Tapi siapa tahu, dengan kelembutan sikap kita, mereka pelan-pelan berubah dan ikut tumbuh.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment